Ada berbagai persoalan di dunia pers saat itu seperti banyak media tumbuh “bagai cendawan di musim hujan”, setelah Jepang berhenti menjajah Indonesia. Banyak media baru itu produk jurnalistiknya dipertanyakan, tidak bermutu. Pengadaan jatah kertas untuk media belum rapikarena belum ada organisasi yang mengaturnya. Tetapi peserta kongres fokus untuk hal yang lebih penting, yakni bangsa dan negaranya. Sebagaimana diberitakan Kedaulatan Rakyat terbitan 11 Februari 1946 dalam kongres ditegaskan bahwa,”Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan bangsa dengan senantiasa mengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan negara.”
Di Harian Merdeka terbitan 12 Februari 1946, dituliskan,”Kongres Wartawan Indonesia yang dilangsungkan di Solo pada tgl 9 dan 10 ini dan dikunjungi wartawan seluruh Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan, menegaskan sikap wartawan adalah: Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa serta selalu mengingat akan Persatuan Bangsa dan Kedaulatan Negara.”
Berita di dua suratkabar berwibawa itu menunjukkan apa dan bagaimana PWI yang terlibat sejak awal sejak republik ini berdiri. Hari lahirnya yang kemudian diperingati sebagai Hari Pers Nasional berawal dari sejarah ini. Penetapan HPN bukan sekadar diskusi pengurus PWI saat kongres di Padang tahun 1978, diusulkan ke pemerintah dan yang ditetapkan dengan Keppres No 5 tahun 1985 oleh Presiden Soeharto sebagaimana sering disampaikan sebagai argument oleh wartawan antiHPN. Tanggal 9 Februari sangat jelas maknanya bagi bangsa Indonesia. Baca. Bacalah. Jangan amnesia sejarah.