POLISI dan wartawan sama-sama tangkas dan gesit untuk melacak siapa pelaku pembakar halte Sarinah saat terjadi unjuk rasa mahasiswa dan buruh yang menolak Undang-Undang Omnibus Law (Cipta Kerja).
Landasan kedua pihak melacak pembakar halte tersebut menggunakan cara ilmu investigasi. Sebab pelacakan dengan cara investigasi tak hanya dilakukan polisi, tapi dikakukan juga oleh wartawan.
Siapa pun bisa melakukan investigasi. Karena ilmu investigasi bisa kita dapati dari perguruan tinggi, lewat sejumlah buku, atau dipelajari secara otodidak dalam kehidupan sehari-hari.
Pelacakan polisi dan wartawan dengan ilmu investigasi dapat menakar jejak pelaku yang membakar halte tersebut. Sebab secara teori dan praktik yang dilakukan ilmu investigasi akan bisa melacak sampai di mana para pelaku itu bersembunyi.
Ilmu investigasi saat ini sudah mendapat pendampingan dengan ditemukannya teknologi Closet Circuit Television (CCTV) dan handphone (HP), dapat memudahkan polisi dan wartawan untuk mengetahui sosok-sosok siapa yang telah membakar halte Sarinah tersebut.
Karena proses kerja CCTV dan HP bisa menjadi wakil “mata” dan telinga manusia. Dengan momen yang ditangkap CCTV, detil kejadian dapat terekam dalam gambarnya.
Gambar CCTV akan menjelaskan rekayasa awal pelaku bergerak untuk melalukan pembakaran halte Sarinah. Dari detil konspirasi, serta ekspresi wajah dan bentuk fisik pelaku, dapat terlihat jelas di gambar itu.
Bahkan kejadian apa pun yang dilakukan pelaku kejahatan di muka bumi ini dapat dengan mudah dilacak polisi dan wartawan dari sisi data berita sesuai faktanya.
Dalam proses kejadian pembakaran halte Sarinah itu dapat diketahui, bagaimana strategi pelaku, profesionalismenya, apakah si pembakar adalah mahasiswa atau orang susupan dalam tragedi itu, akan dapat dilacak secara jelas.
Sebab masyarakat ingin mengetahui apakah pembakar dilakukan oleh seseorang atau dengan cara berkelompok. Terkait masalah ini, polisi dan wartawan profesional akan berlomba memcari fakta sebenarnya.
Polisi akan menggunakan fakta itu sebagai penegakkan hukum, sementara wartawan akan menggunakan fakta tersebut sebagai bahan tulisan (straight news, artikel atau bahan tulisan lain).
Kalau merunut pembakaran halte Sarinah itu, awalnya tak terlihat adanya api. Secara tiba-tiba kobaran api itu membesar dan menghanguskan halte. Akibat pembakaran itu, halte tersebut hingga sekarang tak berfungsi lagi.
Dalam “lomba” mencari dan mengetahui siapa pelaku pembakaran itu, seperti biasanya polisi lebih dahulu dibanding jurnalis.
Karena itu seperti biasanya jurnalis cenderung mengekor polisi. Ini menunjukkan bahwa dalam hal investigasi terhadap satu masalah polisi lebih berilmu dibanding wartawan.
Pelaku pembakar halte yang dicokok polisi ternyata benar yang melakukan pembakaran halte. Tak jarang jurnalis dan masyarakat mengangap polisi selalu benar dan tak mungkin salah melakukan penangkapan.
Berdasarkan ilmu investigasi, wartawan juga memperoleh identitas pelaku pembakar halte yang tidak sama dengan pembakar tangkapan polisi.
Polisi dan wartawan sama-sama menggunakan ilmu investigasi. Meski tangkapan tidak sama, namun prinsip dasar pelakunya sama.
Sebab tidak mungkin juga polisi dan wartawan memperoleh fakta yang benar. Pasti ada juga yang salah dan ada pula yang benar.
Polisi dan jurnalis sama-sama menggunakan ilmu investigasi dengan cara dan pengalaman berbeda. Layaknya 2X2 = 4. Namun jika diproses dari kedua pihak, maka hasilnya sama. Apabila menggunakan hitungan angka, kalau polisi memperoleh nilai empat, wartawan pun mendapat nilai empat.
Jika diprediksi dari hasil hitung-hitungan 2+2 antara polisi dan wartawan bisa saja berbeda. Terjadinya perbedaan itu apabila polisi menggunakan ilmu politik. Sedangkan wartawan memakai ilmu matematika.
Apabila hasil polisi 0, 1, 3 atau menggunakan hitungan lainnya, hasilnya bukan empat. Sedangkan wartawan tetap empat. Namun jika wartawan mengikuti cara polisi menggunakan ilmu politik, hasilnya sama. (*)
Anto Narasoma, Abror Vandozer dan rel