Dedi Irwanto, Pemerhati Sejarah Sumatera Selatan
Dalam rangka 227 tahun berdirinya Kuto Besak, izinkan saya menulis dan mencoba memahami Kuto Besak dari perspektif historisisme kritis. Seperti kita ketahui bersama, Kesultanan Palembang Darussalam mencapai kemakmuran melalui booming perdagangan rempah, terutama lada dari uluan di sepanjang abad ke-XVII-XVIII.
Kemakmuran tersebut salah satu indikatornya adalah berdirinya dua kuto yang fenomenal. Pertama, Kuto Lamo atau Kuto Kecik yang dibangun Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo pada tahun 1724 selesai selama 13 tahun, 29 September 1737.
Kedua, Kuto Baru atau Kuto Besak yang dibangun juga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo ejak tahun 1870 dan selesai selama 27 tahun dengan diresmikan pada 12 Februari 1897.
Secara legitimasi, Kuto Baru atau Kuto Besak didirikan oleh Kesultanan Palembang Darussalam.
Lalu bagaimana dan kenapa bisa diduduki kolonial Belanda dan selanjutnya juga tetap lestari di tangan Tentara Nasional Indonesia di masa kini?
Pra-Kolonial Kuto Besak
Selama ini kita cenderung menyamakan antara istana dan kraton. Padahal ada pengertian yang berbeda. Istana belum tentu ada kraton, tetapi kalau kraton sudah pasti ada istana.
Artinya dalam lingkup kraton ada istana dan bangunan-bangunan sakral lainnya. Karena fungsi kraton lebih besar, selain tempat tinggal sultan sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, namun juga pusat spiritual dan budaya.
Misalnya dari kraton lahir berbagai tari-tarian sakral atau karya sastra fundamental.
Sebagai kuto maka kuto besak dibatasi dengan pagar batu tebal persegi empat. Dengan tiga pintu, pintu utama lawang kuto atau lawang loteng, sedang kedua pintu samping lawang borotan.
Pada bagian dalam pagar kuto terdapat bangunan terdapat istana yang disebut dalem atau rumah sirah. Bangunan ini dibuat dari batu dari 2 lapis.
Di sisi kanan dalem Kuto Baru terdapat bangunan keputren yang dilengkapi dengan kolam pemandian berbentuk segiempat dengan air mancur beruap.
Keputren ini berfungsi sebagai tempat para ratu, putri-putri sultan, dan abdi dalem kraton melakukan aktivitas. Sedangkan pada sisi kiri dalem terdapat bangunan harem yang merupakan area terlarang untuk laki-laki kecuali sultan. Bangunan harem ini tempat tinggal permaisuri dan gundik-gundik sultan.
Selain itu pada bagian depan dalem terdapat pendhapa tempat sultan menerima tamu. Pada bagian ini terdapat dua ruang kecil longkangan dan pringitan.
Pendhapa lebih terbuka disbanding dalem yang hanya untuk berkumpul keluarga atau acara adat atau ruang menerima khusus tamu private sultan di ruang dalem terdapat tempat duduk sultan ruang kerja sekaligus tempat menerima perwakilan dagang.
Pada ruang dalem yang tidak semua orang dapat mengaksesnya berjejer barang-barang mewah untuk menjaga kenyamanan pemilik dan tamunya.
Di dalam kuto juga ada dua bangunan yaitu pasebahan dan pamarakan. Bangunan pasebahan merupakan tempat awal sultan menerima tamu untuk mengaturkan sebah atau sembah dalam mengutarakan laporan atau keluhan dari rakyatnya.
Bangunan ini terbuat dari kayu berbentuk persegiempat beratap sira dan tidak berdinding. Sebelah bangunan pasebahan terdapat bangunan pamarakan yang memiliki balai bandung atau balai seri tempat sultan duduk menerima seba.
Pada saat upacara kebesaran balai bandung dilengkapi dengan regalia kesultanan.
Inilah kenapa kuto besak berbeda dengan istana Maimun di Medan, Istano Basa Pagaruyung di Sumatera Barat atau istana Kadariah di Pontianak.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya