Selain itu, LPSK menyatakan siap melindungi sejumlah ABK.
Ketua LPSK Hasto Atmojo mengatakan pihaknya akan melakukan tindakan proaktif dalam kasus ini, LPSK siap bekerja sama dan berkolaborasi dengan pihak Kementerian Luar Negeri dan Kepolisian, untuk memberikan perlindungan terhadap ABK WNI yang telah mengalami peristiwa nahas ini, mulai dari proses pemulangannya ke tanah air hingga pendampingan proses hukumnya nanti.
Ia pun menjelaskan, LPSK sudah beberapa kali menerima permohonan perlindungan untuk korban TPPO yang peristiwanya mirip dengan kasus yang dialami oleh 18 ABK kapal Cina.
“Diantaranya, kasus perbudakan di Benjina, Maluku, pada 2015 lalu. Kasus ini sempat menyita perhatian publik, bahkan hingga di luar negeri,” jelasnya.
Tragedi yang melanda 18 ABK mendapat banyak sorotan dan pemberitaan di media, menunjukkan adanya indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Hasto berharap agar pihak Kepolisian untuk menulusuri pihak atau perusahaan yang melakukan perekrutan dan menyalurkan para ABK ke kapal China tersebut.
“Serta mengambil tindakan tegas bila terbukti adanya pelanggaran pidana,” harapnya.
Pada kesempatan itu, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan, kasus TPPO yang menyasar ABK bukan kali pertama terjadi.
“Selain kasus di Benjina, LPSK pernah menangani kasus serupa, seperti kasus di Jepang, Somalia, Korea Selatan dan Belanda,” ucapnya.
Menurut catatan akhir tahun LPSK 2019, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menempati posisi empat besar setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme dan pelanggaran HAM berat.
“Pada tahun 2018, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO berjumlah 109, sedangkan di tahun 2019 naik menjadi 162 permohonan. Sedangkan ihwal jumlah terlindung, pada 2018 terdapat 186 terlindung kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung di tahun 2019,” papar Edwin.
Dari pengalaman LPSK melakukan investigasi kasus TPPO khususnya pada sektor kelautan dan perikanan ditemukan fakta banyaknya perlakukan tidak manusiawi yang dialami para korban.
Biasanya korban mengalami penipuan dalam proses rekrutmen, pemalsuan identitas, jam kerja melebihi aturan, tindakan kekerasan, penganiayaan, penyekapan, gaji tidak layak, hingga ancaman pembunuhan.
“Kami pernah mendengarkan pengakuan korban yang tidak mendapatkan selayaknya air minum, mereka terpaksa minum air laut yang disaring, bahkan ada yang meminum air AC,” tutur Edwin. (Ril/Abror Vandozer)