WIDEAZONE.COM, PALEMBANG — Sungai Musi merupakan sungai kebanggan masyarakat Sumatera Selatan. Eksistensi sebagai jalur perdagangan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Kehidupan masyarakat Sumsel yang berdomisili di sekitarnya bertumpu pada eksistensi Sungai Musi. Lantas bagaimana kondisinya saat ini?
Di tahun 1960-an, fungsi Sungai Musi memang luar biasa. Sejumlah kapal bertonase besar dapat berlalu-lalang di perairan sungai ini. Bahkan ketika bagian tengah Jembatan Ampera masih dapat beroperasi (diangkat), maka kapal besar masih dapat terlihat wara-wiri di Sungai Musi.
Masa itu, saat ini tinggal kenangan saja. Bahkan sudah menjadi sejarah bagi masyarakat Sumatera Selatan. Mengapa bisa seperti itu? Karena saat ini kedalaman Sungai Musi sudah semakin cetek (dangkal).
Habitat air Sungai Musi yang membelah kawasan hulu dan hilir kota Palembang itu kondisinya sudah semakin dangkal. Bahkan kedangkalannya dipadati limbah sampah dan penggerusan tanah. Sedimentasi inilah yang menyulitkan kapal-kapal besar untuk masuk ke kawasan dalam Kota Palembang.
Kedalaman Sungai Musi yang tercatat antara10 hingga 12 meter, kini hanya 7 meter saja. Sebab sedimentasi yang menumpuk di dasar lumpur makin mendangkalkan sungai ini. Akibat pendangkalan itu, menjadikan kapal-kapal berukuran besar sulit masuk ke kawasan tengah Sungai Musi. Bahkan beberapa anak Sungai Musi ikut mengecil dan airnya mengering.
Saat diwawancari Ketua Umum Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumsel, Syafrul Yunardi, mengatakan saat ini kondisinya termasuk dalam katagori kritis. “Tingkat sedimentasinya kian meninggi,” ujar Syafrul kepada Wideazone.com, Rabu (27/2/2019).
Untuk mencegah pendangkalan, harus ada pengerukan lumpur di bawahnya. Paling tidak pengerukan itu dilakukan dua tahun sekali. Dampaknya dari keterbatasan debit airnya, akan dapat mengurangi sumber air untuk pengaliran air kesawah atau lahan masyarakat. “Bahkan bisa mempengaruhi pasokan air minum kerumah-rumah penduduk,” katanya.
Selain itu, kata Syafrul, dampaknya sangat buruk bagi habitat biota laut di Sungai Musi. Apalagi debit airnya makin menurun. Meski ragam jenis biota di dalamnya barangkali tidak punah, namun untuk habibat kehidupan mereka menjadi sempit.
“Misalnya, saat ini kita jarang melihat ikan tapa, ikan sengarat, ikan patin sungai serta ikan-ikan lainnya. Jika dibiarkan seperti ini, kita akan mengalami kerugian besar apabila habitat ikan-ikan itu punah,” katanya.
Menjawab pertanyaan tentang tingginya tingkat sedimentasi di bawah permukaan Sungai Musi akibat pembuangan sampah rumah tangga, limbah pabrik di aliran sungai serta penebangan pohon secara masif.
“Anda bisa melihat banyaknya sampah yang dibuang sembarangan oleh warga. Sampah-sampah itu mengambang dan memadati tiap penjuru sungai. Ini yang membuat sedimentasi menjadi sangat tinggi.”
Di bahwa tahun 1980-an, jenis ikan seluang, sengarat, belido, ikan tapa dan ikan buluh tulang, masih dapat dilihat. Sekarang, sejumlah besar nama ikan itu hanya menjadi ucapan. Meski tidak punah, barangkali, tapi keberadannya sudah sangat sulit dicari.
Di bagian hulu kawasan Sungai Musi, terdapat di Kabupaten Empat Lawang Sumsel, Kepahyang, Kabupaten Lahat dan Kabupaten Curup Bengkulu. Sementara kawasan hilirnya yang berdataran rendah, di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir (OI), Musi Banyuasin (Muba) dan Kota Palembang. (anto narasoma)