Kepulauan Swarnadwipa
by Agus Sulaiman SE & Rohadi Wijaya
CAHAYA fajar menyeruak dari ufuk timur. Warna merah jingga bersaput gumpalan awan putih membuat pemandangan matahari terbit seperti maha karya lukisan raksasa. Suara ayunan ombak berpadu dengan hembusan angin pagi yang lembab, terdengar begitu tenang. Tiang-tiang kapal dengan layar tergulung menjadi pemandangan pagi yang indah bagi Shi Daniang hari ini.
Gadis berhidung mancung itu sudah hampir lupa sudah berapa lama telah mengarungi samudera. Ia hanya bisa menghabiskan kesehariannya bermain petak umpet bersama kedua adiknya, dan menghabiskan malam-malamnya dengan selimut ketakutan yang kian membara. Pertemuan pertamanya dengan Sang Laksamana di kota Champa bagaikan setetes embun di gurun sahara, sama sekali tidak mampu menghancurkan kegelisahan yang telah memasung hariharinya di atas samudera.
Terlebih, saat ayahnya mengabarkan kapal mereka sudah mendekati perairan Selat Malaka. Rasa kalut bercampur takutnya semakin menjadi-jadi. Pagi itu, Shi Daniang sudah berdiri termenung di atas anjungan kapal. Rambutnya dibiarkan tergerai ditiup angin. Pita merah yang biasa dipakainya menari-nari bebas bersama hembusan angin di dalam genggaman tangannya.
Cukup lama gadis berhidung mancung itu termenung. Hingga akhirnya lamunannya dibuyarkan hangat sapaan Shi Jin Qing dari arah belakang. “Daniang, putriku yang cantik.” Shi Jin Qing menyapa putri sulungnya dengan wajah terukir senyum. Jenggot panjangnya meliuk-liuk tersapu angin. “Iya A Pa..” Shi Daniang memalingkan tubuhnya. Bibir merahnya yang pucat dipaksa untuk tersenyum. “Adik-adikmu sudah bangun?” Shi Jin Qing bertanya setiba dirinya di samping Shi Daniang.
Keduanya saling bertatapan. “Belum A Pa, mereka masih tertidur pulas.” Suara lembut Shi Daniang nyaris tenggelam oleh hempasan air laut yang menampar lambung kapal. “Kenapa pagi-pagi sekali kamu sudah termenung. Apakah kamu masih memikirkan apa yang akan terjadi nanti?” Shi Jin Qing seperti mampu membaca pikiran putri sulungnya. Meski apa yang dirasakannya tidak jauh berbeda dengan Shi Daniang, tetapi ia berusaha untuk terlihat tenang.
Sang Saudagar itu sangat paham akan ada banyak resiko besar saat ia memutuskan ke Tiongkok. Namun, melaporkan situasi politik dan keamanan di perairan selat Malaka kepada Kaisar Yong Le dan Laksamana Cheng Ho adalah pilihan terbaik agar jalur perdagangan dan kerjasama perniagaan antara Tiongkok dan penguasa di nusantara tidak terganggu.
Gerombolan perompak yang dipimpin oleh Chen Zhuyi saat ini menjadi momok paling menakutkan bagi para saudagar kapal yang melintasi perairan Swarnadwipa. Akibatnya, pelabuhan Palembang mulai sepi karena para saudagar enggan mengambil resiko kerugian yang besar akibat barang dagangannya dirampas, kapalnya ditenggelamkan dan awak kapalnya mati dibunuh sia-sia.