WIDEAZONE.com, PALEMBANG | Soal ketidaktahuan masyarakat bahwa Palembang Sumatera Selatan [Sumsel] sebagai daerah habitat Gajah membuat Tim Puskass [Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan] mengkaji tentang Gajah Palembang yang dilakukan di 5 daerah terdampak konflik. Kajian tersebut berlangsung selama 8 hingga 10 Mei 2024.
Tim Puskass terdiri dari Dedi Irwanto, Vebri Al-Lintani, Ali Goik, Kemas Panji, Dudy Oskandar, dan Mang Dayat.
Pada hari pertama, Tim terjun di 5 desa yang sering mengalami dan berdampak konflik dengan Gajah di antaranya Desa Bukit Batu, Simpang Heran, Banyu Biru, Srijaya Baru dan Desa Mulya. Rabu 8 Mei 2024 bertempat di Bukit Batu melakukan berbagai pendekatan persuasif dengan wawancara terhadap penduduk lokal.
Hal itu dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan habitat Gajah yang menjadi akar utama konflik antara manusia dan hewan mamalia darat terbesar di sana.
“Kita merasakan adanya konflik ini, yang utama habitat gajah diusik oleh manusia. Gajah memiliki jelajah edar yang bersifat siklus,” ungkap aktivis penggiat lingkungan, Ali Goik, Jumat 10 Mei 2024.
Nah, kata Ali Goik, berdasarkan pendapat masyarakat tadi, wilayah edar Gajah tidak sengaja diganggu, sehingga habitat mamalia masuk dan mengamuk di Pemukiman warga. Namun yang menarik, jika dulu masyarakat menghalau Gajah dengan kata-kata simbah ‘ojo mlebuh niki rumah cucumu atau mbak tinggali makan untuk cucum’. “Maka Gajah akan segera pergi. Kalau sekarang ubtuk menghalau mamalia darat terbesar harus dengan berbagai cara dan berganti strategi. Kalau bulan depan harus pakai tabuhan kaleng, bulan berikutnya dengan petasan alias mercon demikian seterusnya,” ujar Ali Goik.
Hal senada juga dilontarkan budayawan Vebri Al-Lintani. Dia mengungkapkan dari pendapat masyarakat, sebenarnya, pada masa lalu ada harmonisasi antara kehidupan gajah dan manusia di Sumatera Selatan.
“Gajah itu hewan cerdas. Mamalia ini merasa terganggu kalau diusik. Tokoh Si Dasir dalam tradisi lisan Sumsel contohnya. Si Dasir mati karena mengusik gajah. Selain itu, dalam sejarah Raja Sriwijaya, Shih-ling-chia dikatakan menaiki gajah jika melakukan perjalanan jauh.,” ujarnya.
Artinya, ujar Vebri Al Lintani, sejak masa lampau, gajah Palembang sudah mendukung kehidupan manusia di Sumatera Selatan. Bukan berkonflik. Jadi menurutnya, jika ada konflik manusia dan gajah. Maka harus dicari solusi budayanya yang pas”, tutur budayawan, Vebri Al-Lintani.
Selaku Tim Puskass, Vebri mengutarakan gajah yang kerap kali menjadi persoalan di tengah pemukiman masyarakat Air Sugihan. Kendati demikian, Tim mencoba mencari akar masalahnya terlebih dahulu.
“Selama ini terkesan [terkait persoalan] saling lempar, oleh sebab itu Tim Puskass melakukan kajian dengan mencari akar konfliknya sekaligus berbagai kearifan lokal tentang gajah. Sehingga dapat dilakukan saran-saran dalam penanganan gajah di sana,” sebutnya menjelaskan.
Sementara, Ketua Tim Puskass Dedi Irwanto, mengklaim pihaknya, sejak awal Maret, telah mengumpulkan berbagai dokumentasi. Kemudian dilanjutkan dengan studi lapangan. Serta berbagai wawancara dengan ahli dan masyarakat awam tentang gajah. “Kita akan mendokumenkan dan menarasikan tentang kehidupan gajah, baik secara lintasan waktu di masa lampau maupun di masa kini. Termasuk penanganan gajah dari waktu ke waktu. Khususnya gajah Palembang,” ujarnya.
Jadi, menurut Dedi Irwanto akan ada buku pengetahuan tentang gajah Palembang. Keberadaan buku seperti ini terbilang masih langka dalam khazanah literarasi di Sumatera Selatan. Sehingga pengetahuan orang tentang gajah dirasakan mulai menurun.
“Selain itu, buku hasil kajian ini juga semacam upaya kita mengembalikan citra Sumatera Selatan. Sebagai tempat utama rumah gajah Sumatera,” tuturnya.
Selama ini, tambah Sejarawan Kemas A Panji, Lampung dikenal sebagai daerah gajah. Padahal gajah dari Lampung sebagian besar berasal dari Sumsel, terutama Air Sugihan sekitarnya, yang digiring ke Lampung pada waktu Operasi Ghanesa. [Abror Vandozer]