Prahara di Pulau Maspari: Tahta di Atas Samudera

BAB 7: Prahara di Pulau Maspari: Tahta di Atas Samudera
BAB 7: Prahara di Pulau Maspari: Tahta di Atas Samudera

Kapal Shi Jin Qing, Samudera Barat

by Agus Sulaiman SE & Rohadi Wijaya

WIDEAZONE.com | Bayangan bulan sabit terlihat jelas di atas air laut yang tenang. Meski gulungan ombak kecil sesekali membuatnya meliuk mengikuti gelombang, namun cahaya bulan di malam itu menjadi petunjuk arah bagi kapal Shi Jin Qing yang berlayar membelah perairan samudera barat menuju Selat Malaka. Jejak hempasan air yang terbelah bagian depan buritan kapal, ikut menyisakan buih-buih putih yang memantulkan sinar bulan di langit.

Angin yang bertiup kencang membuat kain-kain layar nampak melengkung. Desauan udara yang terbendung tiga tiang kapal itu terdengar seperti nada tiupan seruling di telinga Shi Daniang. Semakin kencang angin bertiup, semakin tinggi nada yang dimainkan. Padahal, suasana gelombang ombak dan angin malam itu menjadi perpaduan irama dan tarian alam yang indah untuk menyanyikan suasana hatinya. Namun, wajah Shi Jin Qing yang gelisah membuat Shi Daniang mengurungkan keinginannya. Indahnya cahaya bulan sabit di atas langit tampaknya tidak mampu mengikis kegelisahan Shi Jin Qing.

Lelaki berjenggot itu khawatir apa yang akan disampaikannya nanti bisa membuat ketiga anaknya ketakutan. Namun jika tidak disampaikan malam ini juga, ia khawatir putri sulungnya itu tidak dapat membantu kedua adiknya menyelamatkan diri jika hal terburuk terjadi dalam pelayaran mereka. “Daniang.. anak A Pa yang cantik.”

Suara Shi Jin Qing terdengar lembut di antara suara riak ombak kecil dan sapuan angin laut yang dingin. Prahara di Pulau Maspari | 81 “Iya A Pa?” Shi Daniang mengangkat kepalanya, menatap sosok tinggi besar ayahnya yang berdiri di bawah tiang layar utama kapal. “Mulai malam ini, perjalananmu akan menjadi bagian dari sejarah.” Shi Jin Qing menatap dalam-dalam wajah Shi Daniang. Paduan cahaya lampion dan sinar bulan membuat wajah putri sulungnya terlihat berwarna keperakan.

“Di Selat Malaka nanti, kapal kita akan bergabung dengan ratusan armada kapal laut kaisar Ming.” Alis mata Shi Daniang seperti melompat saat gadis berhidung mancung itu membeliakan matanya. “ka..ka..pal kaisar?” Shi Daniang terkejut hebat. Pertanyaannya terbata-bata karena rasa tidak percaya. “Bukan kapal Kaisar, tetapi kapal-kapal milik kekaisaran Ming. Pemimpinnya seorang Laksamana bernama Cheng Ho.”

“Bagaimana A Pa bisa berlayar dengan kapal-kapal itu?” Perasaan cemas mulai merambat hati Shi Daniang. “Inilah yang A Pa mau ceritakan kepadamu. Sebuah proses yang harus kamu persiapkan resiko terburuknya.” Shi Jin Qing menarik nafasnya dalam-dalam. Arah pandangannya kembali tertuju pada cahaya bulan sabit yang mulai samar tertutup awan. “Sejak ratusan tahun lalu, Selat Malaka telah menjadi jalur pelayaran antar bangsa. Namun, semenjak kekuatan Sriwijaya mulai runtuh, perairan Selat Malaka kini menjadi jalur neraka bagi para saudagar kapal.”

“Siapapun yang melintasi Selat Malaka, mereka harus waspada diserang gerombolan perompak Chen Zhuyi. Mereka terkenal kejam dan sadis. Semua awak kapal yang dirompaknya selalu dibunuh tanpa ampun.” Shi Daniang begidik ngeri. Gadis berhidung mancung itu mulai membayangkan sesosok perompak berwajah kasar dan beringas muncul tiba-tiba sambil mengayunkan pedang ke arahnya. “Jadi bagaimana dengan pelayaran kita nanti A Pa?” Wajah Shi Daniang memucat.

Rasa takut yang menjadi-jadi membuat air liurnya terasa getir. “Bagaimana nanti dengan Ban Ci dan Ji Sun?” Shi Daniang meremas-remas telapak tangannya. Degup jantungnya meningkat dua kali lipat. Tatapan resahnya membuat Shi Jin Qing menarik nafas sangat dalam. “Kamu tidak perlu khawatir terlalu berlebihan. Kapal kita akan berlayar bersama dua puluh lima ribu pasukan, dengan ratusan kapal perang yang lengkap persenjataannya.” Shi Jin Qing mencoba menenangkan kecamuk badai dalam dada putri sulungnya.

Usai membelai lembut ujung kepala Shi Daniang, tangan lelaki berjubah hanfu itu mendekap hangat punggung putri sulungnya yang tengah beranjak remaja. “Besok, A Pa ingin kamu belajar dan mengajarkan adik-adikmu bersembunyi di dalam tong kayu. Buat dalam sebuah permainan agar mereka berdua tidak panik dan ketakutan jika sesuatu yang buruk terjadi.” “Baik A Pa” Shi Daniang menganggukkan kepala dalam-dalam. Cahaya bulan sabit kembali bersinar. Cahayanya kembali menerangi ombak dan riak gelombang di atas samudera.

Meski cahaya bulan dan bintang di atas langit berpadu indah, tetapi perasaan Shi Daniang masih terasa dingin, sedingin angin laut yang berhasil menembus pori-pori kulitnya. “Sekarang, pergilah tidur. Jika ada sesuatu, A Pa ada di anjungan kapal bersama paman nahkoda.” Usapan lembut Shi Jin Qing dipunggungnya membuat gadis remaja itu mendapatkan ketenangan. Langkah kakinya terasa lebih ringan saat beranjak menuju ruang geladak.

Lantai kayu yang basah, masih memantulkan cahaya lampion dan bulan sabit di atas langit saat Shi Daniang mendorong daun pintu kayu. Namun, suasana cahaya ruangan yang temaram, membuat Shi Daniang semakin sulit untuk memejamkan matanya. Ada ketakutan yang menghantuinya. Bayangan wajah bengis para perompak di balik dinding kapal, serta derit kayu yang saling bergesekan membuat gadis berhidung mancung itu selalu melirik ke arah pintu.

Ia teramat cemas pintu ruang geladak itu di dorong menggunakan bagian ujung pedang yang tajam. Rasa takut dan cemas yang tak kunjung pergi, membuat Shi Daniang terjaga hingga pagi hampir menjelang. Cahaya matanya mulai redup karena tidak mampu menanggung rasa kantuk. Saat fajar mulai menyingsing, Siksaan rasa takut yang dirasakan putri saudagar itu berakhir. Rasa letih yang mendera membuat Shi Daniang memejamkan mata, dan tidur terlelap dengan sendirinya. Ayunan ombak dan dekapan hangat selimut merah tua membuat gadis itu terbaring pulas dengan nyaman, senyaman matahari pagi yang mulai bersinar tanpa terhalang awan.

banner 468x60

banner 468x60