Prahara di Pulau Maspari: Kidung Selat Malaka

BAB 8: Prahara di Pulau Maspari: Kidung Selat Malaka
BAB 8: Prahara di Pulau Maspari: Kidung Selat Malaka

Shi Daniang memandang ke arah langit-langit. Ia berusaha mengingat-ingat kembali sosok yang membuatnya gemetar bercampur kagum di waktu kecil. “Beliau orang yang gagah dan perkasa. Meski memiliki jabatan tinggi, tetapi ia sangat ramah kepada semua orang. Ia juga pandai menghormati orang lain tanpa memandang kedudukan dan jabatan.” Prahara di Pulau Maspari | 98 Perempuan berhidung mancung itu kembali menatap Jaka Samudera. Kali ini disertai senyuman tipis dari sepasang bibirnya yang merona warna merah delima.

“Laksamana Cheng Ho adalah seorang kasim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle, kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao. Kata A Pa, ia berasal dari provinsi Yunnan.” “Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, beliau ditangkap kemudian dijadikan seorang kasim. Ia adalah keturunan suku Hui, suku yang secara fisik mirip dengan suku Han tetapi telah memeluk agama Islam.”

Jaka Samudera hampir tersedak mendengar penjelasan ibu angkatnya. Ia buru-buru menuangkan air jahe ke dalam cangkir, lalu meminumnya dalam tiga kali tegukan. “Sang Laksamana seorang muslim?” Shi Daniang kembali tersenyum. Kepalanya mengangguk dengan gerakan yang anggun. “Iya, beliau seorang muslim. Dalam tujuh kali pelayarannya ke Nusantara, beliau singgah di Swarnadipa, Palembang serta Jawadwipa dengan meninggalkan banyak jejak keislamannya.”

“Bagaimana perasaan biyung ketika berjumpa dengan sang Laksamana?” Jaka Samudera mencecar dengan pertanyaan yang jauh lebih mendalam. “Biyung tidak bisa berkata apa-apa saat pertama berjumpa. Pedang yang tergantung dipinggang Sang Laksamana dan beberapa perwira yang berpakaian lengkap di dekatnya, membuat lidah dan kaki biyung begitu berat untuk sekedar terangkat.” Prahara di Pulau Maspari | 99 Nyai Ageng Pinatih menggeleng-geleng kecil.

Secuil senyuman getir yang terlintas di wajahnya menggambarkan penyesalan melewati begitu saja momen yang tidak akan bisa terulang lagi seumur hidupnya. Nyai Ageng Pinatih lalu menceritakan rasa takutnya untuk mendekat atau sekedar menyapa sang laksamana di saat itu meski sang ayah sudah meminta dan mendorongnya untuk menghampiri. Sikapnya saat itu sangat berbeda dengan Ban Ci dan Ji Sun. Kedua adiknya itu tanpa ragu-ragu sedikitpun mendekat dan memeluk erat Laksamana Cheng Ho. “Jadi biyung hanya diam saja saat bertemu dengannya?”

Jaka Samudera mengangkat alis kirinya. Suara ketukan jari telunjuk kanan Jaka Samudera terdengar pelan dari cangkir tanah liat. Matanya tidak berkedip memandangi ibu angkatnya. Ia semakin dibuat penasaran dengan sosok sang Laksamana. Suara derit serangga malam terdengar sayup-sayup dari halaman rumah. Sapuan angin berpadu dengan cahaya bulan membuat dedaunan di atas dahan seolah sedang mengiringi tarian sinar sang dewi malam di atas perkampungan di sebelah barat pantai Gresik. ***

banner 468x60

banner 468x60