Prahara di Pulau Maspari: Kidung Selat Malaka

BAB 8: Prahara di Pulau Maspari: Kidung Selat Malaka
BAB 8: Prahara di Pulau Maspari: Kidung Selat Malaka

Kebungson, Gresik Jawa Timur

by Agus Sulaiman SE & Rohadi Wijaya

WIDEAZONE.com | Jaka Samudera meneguk sisa wedang jahenya hingga kandas. Pantulan minyak jarak yang terbakar di atas tiang membuat dasar cangkir tanah lihat di tangannya berkilat-kilat. Tiga potong ubi rebus di atas piring masih menggoda untuk menemaninya mendengarkan cerita Nyai Ageng Pinatih yang semakin membuat dirinya penasaran. Bocah lelaki dua belas tahun itu menekuk sepasang alisnya hingga hampir saling bertemu di ujung dahi.

“Apakah semua ini masih ada hubungannya dengan kegelisahan biyung?” Jaka Samudera mengutarakan rasa penasarannya. “Masih.. ” Nyai Agung Pinatih menganggukan dagunya. Bibir tipis yang basah nampak berkilat. Rona merah delima membuat bayangan hidungnya yang mancung nampak redup di sela-sela pipi. “Apakah ketakutan biyung hilang setelah bertemu rombongan kapal sang laksamana?”

Jaka Samudera mengangkat kaki kanannya yang mulai terasa pegal, ribuan semut terasa menggigit telapak kaki saat ia menyandarkan lipatan tangannya di atas lutut. Bocah lelaki berbaju surjan itu berusaha bersikap wajar agar sang ibu angkat kembali melanjutkan ceritanya. “Pada awalnya iya. Biyung merasa ketakutan yang terus menghantui itu sirna untuk beberapa hari perjalanan. Tapi..” Kalimat Nyai Ageng Pinatih yang terputus membuat Jaka Samudera menggernyitkan dahi.

“Tapi apa biyung?” Jaka Samudera menegakkan punggung sembari menukar posisi kaki untuk menopang lipatan kedua tangannya. Shi Daniang menunduk. Ada jejak ketakutan yang tersisa di balik tatapan matanya. “Sewaktu A Pa menceritakan tujuan berlayar bersama rombongan armada kaisar.” “Jadi apa tujuan pelayaran biyung saat itu?” Jaka Samudera mencari jawaban dari balik tatapan yang sendu seperti awan mendung.

“Pelayaran kami bertujuan untuk menumpas gerombolan perompak di selat Malaka.” Nyai Ageng Pinatih menjawab dengan suara bergetar. Rasa cemas yang tersimpan di masa kecilnya menyeruak di antara garis ingatan. Meski telah lama berlalu, tapi peristiwa yang mengerikan itu masih membekas begitu dalam di benaknya. Jaka Samudera terhenyak mendengar jawaban Nyai Ageng Pinatih. Bocah lelaki itu tidak menyangka ibu angkatnya melakukan perjalanan yang beresiko dan penuh marabahaya. “Perompak yang sadis di perairan Sriwijaya itu?” Bayang-bayang kilatan pedang dan percikan darah membuat Jaka Samudera bergidik.

“Betul Jaka, gerombolan Chen Zhuyi yang terkenal sangat bengis kala itu,” “A Pa bilang, jumlah mereka ribuan, terbagi dari beberapa kelompok pecahan Sriwijaya yang kalah perang dengan Majapahit. Prahara di Pulau Maspari | 96 Pemimpinnya adalah Chen Zhuyi yang dulu bekerjasama dengan raja Sriwijaya mengamankan jalur perdagangan di perairan Selat Malaka.” “Jadi, setelah Sriwijaya runtuh, mereka membelot?” “Iya, pada awalnya Chen Zhuyi dan paman Liang Dhao Ming menjadi utusan kepercayaan Kaisar Tiongkok untuk mengurus perniagaan di Nusantara.

Namun, Ketika Kaisar Yongle naik tahta dan paman Liang melaporkan kepada kaisar situasi politik setelah Sriwijaya ditaklukkan Majapahit, Chen Zhuyi memimpin sisa-sisa kekuatan maritim Sriwijaya sebagai gerombolan perompak.” Jaka Samudera mengusap dagunya. Ia menarik nafasnya dalamdalam untuk bisa mencerna kalimat yang baru saja disampaikan ibu angkatnya.

Meski ia sendiri belum begitu memahami dunia politik, tetapi mencari tahu sebab musabab sebuah peristiwa baginya seperti percikan api yang memantik keingintahuannya lebih menyala. Putera angkat Syahbandar Gresik itu sama sekali tidak menyangka, rasa ingin tahu akan kegelisahan yang selama ini mendera sosok perempuan yang dikaguminya ternyata berbuah cerita yang penuh dengan prahara. “Jaka kira, rasa takut dan cemas itu menghilang setelah biyung bertemu armada laksamana Cheng Ho. Ternyata Jaka salah.” Jaka Samudera kembali menarik nafasnya dalam-dalam.

“Tadinya biyung berharap seperti itu. Tapi dengan jumlah pasukan yang dibawa laksamana, serta ribuan perompak yang telah menunggu di Selat Malaka, kekhawatiran biyung justru bertambah empat kali lipat.” Shi Daniang menuang cairan wedang jahe ke dalam cangkir tanah liat. Menggoyang-goyangkannya pelan sebelum cairan hangat itu akhirnya kembali membasahi tenggorokan dalam sekali tegukan. “Apakah biyung berjumpa dengan sang laksamana?” Jaka Samudera melempar pertanyaan sembari mengambil potongan ubi rebus di hadapannya. Shi Daniang terdiam sejenak.

Ia mencoba menikmati angin yang berhembus pelan melewati tulang pipi dan lembaran kain yang menutupi kepalanya. “Setelah dua minggu mengarungi lautan, kami berjumpa saat singgah di daerah champa.” “Wahhh… pasti pengalaman yang sulit dilupakan.” Jaka Samudera tidak dapat menyembunyikan kekagumannya. Bagi seorang Jaka Samudera, berlayar dan mengunjungi negerinegeri seberang di usia remaja adalah pengalaman yang luar biasa.

Apalagi bila sampai berjumpa dengan tokoh-tokoh besar di negeri yang disinggahi. Ditambah lagi bisa bertemu dengan sosok sang Laksamana yang tengah diceritakan biyungnya. Orang itu tentu bukan tokoh sembarangan, karena bisa memimpin puluhan ribu prajurit dan ratusan armada kapal. “Bagaimana sosok sang Laksamana itu biyung?” Pipi Jaka Samudera masih terisi ubi rebus saat berusaha mencari tahu lebih jauh tentang sosok Laksamana Cheng Ho.

banner 468x60

banner 468x60