Prahara di Pulau Maspari: Badai di Tengah Sunyi

“Shi Daniang,” Shi Jin Qing memanggil putri sulungnya dari anjungan kapal. Langit senja dan awan berwarna pucat terlukis di belakang lelaki berjenggot panjang hingga dada itu. “Iya A Pa!” Melihat sosok sang ayah berdiri dengan senyuman hangat, Ji Sun dan Ban Ci dengan cepat melepaskan genggaman tangannya. Keduanya berhamburan, lari menghampiri ayah mereka yang telah berjongkok, siap memberikan pelukan terhangat kepada buah hatinya.

“Kalian sudah siap melihat samudera?” Shi Jin Qing menatap dalam-dalam dua pasang mata di hadapannya. “Sudah A Pa!” Ji Sun menjawab lantang, sedangkan Ban Ci hanya menjawab dengan anggukan kepala. “Bagaimana dengan kamu Shi Daniang?” Lelaki berbaju Hanfu itu berdiri. Lengan bajunya yang lebar melambai-lambai mengikuti tiupan angin laut. “Aku juga sudah siap A Pa” Shi Daniang menganggukan kepala dengan sikap penuh hormat.

“Kalian bersiap-siaplah, kita akan segera berangkat.” Shi Jin Qing mengusap-usap kepala Ji Sun dan Ban Ci bergantian. “Kalian bertiga jangan turun lagi dari kapal ya!” Shi Daniang memberikan anggukan kepalanya sebagai jawaban. Senyumnya merekah semakin lebar melihat tingkah Ji Sun dan Ban Ci yang melompat-lompat kegirangan di atas lantai kayu. Melihat senyum bahagia dari ketiga anaknya, lubuk hati Shi Jin Qing seperti taman bunga aneka warna, tumbuh bermekaran dengan indah dengan semerbak aroma wangi tiada ternilai dengan kata-kata.

Langit telah berwarna merah. Awan-awan kelabu di atas cakrawala seperti sapuan ombak yang bergulung pelan disapu angin laut. Beberapa ekor burung camar masih berputar-putar di atas tiang kapal yang telah membentangkan layarnya. Seekor camar menukik dengan tajam, lalu berbelok mengitari anjungan kapal dan kembali naik ke atas melewati puncak tiang layar.

Kepakan-kepakan sayapnya seolah salam perpisahan kepada para penumpang kapal yang berdiri di sisi kanan geladak kapal. Shi Daniang memandang ke arah dermaga. Rambutnya yang terurai hingga ke pinggang dibiarkan menari-nari mengikuti angin yang meniup ke arah laut. Sesekali tangan kanannya sibuk menghempaskan beberapa helai anak rambut yang jatuh di atas pipinya yang merona merah. “krak..krak..” Suara derak kayu tertiup angin terdengar samar-samar.

Kapal bertiang tiga itu mulai bergerak perlahan-lahan, mengikuti ayunan ombak menjauh dari dermaga pelabuhan. Shi Daniang menatap garis dermaga dengan syahdu. Sesekali ia melirik adik perempuannya yang sibuk melambaikan tangan kepada orang-orang di tepian dermaga. Gadis berhidung mancung itu terharu melihat lambaian orang-orang yang melepas kepergian sanak keluarganya yang ikut menjadi awak kapal milik ayahnya menuju negeri di seberang lautan. Kain layar mengembang sempurna ditiup angin. Kapal dagang menuju Selat Malaka itu semakin cepat meninggalkan dermaga.

Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya