by Anto Narasoma
DALAM sastra panggung, ekapresi pemain merupakan dasar utama untuk melihat kemampuannya.
Sebab dari dasar inilah seorang pemain panggung dipresikasi sebagai aktor. Dari pengendapan emosi, memunculkan power voice, hingga mengaktualisasi karakter secara keseluruhan akan memgantarkan pementasannya menjadi berhasil atau tidak.
Mencernati peran Bambang Oeban dalam pergelaran Gajahmada, sangat menarik untuk dicermati. Sebab dari sejak awal karakter yang ia bangun dari emosi jiwanya, Bambang tampak pasrah menyajikan figur Gajahmada.
Bukan soal bagus atau tidaknya peran yang ia bawakan. Tapi sejauh apa jiwa seorang Bambang Oeban “pasrah” ke sosok Gajahmada?
Penggambaran karakter Gajahmada dari seorang Bambang Oeban sebagai pemain, ia berusaha menghadirkan karakter yang bukan dirinya.
Seperti yang diungkap Anton Palvovich Chekhov, tiap pemain akan berusaha “mengusir” karakternya sendiri untuk menghadirkan tokoh yang ia perankan. Dalam ilmu teater, usaha ini disebut sebagai pelepasan jiwa untuk menghadirkan “karakter” lain yang ia hadirkan dalam pementasan itu.
Dari fase awal seorang Bambang menghadirkan Gajahmada dalam pola pikiran dan perasaannya sebagai pemain
…Setelah lampu padam, Bambang Oeban mulai berteriak. Ia mencoba melampiaskan pola permainannya yang keras dan jantan.
Dari volume suara yang berat parau, Bambang membangun emosinya. Dari gerakan awal pada pola pengkarakteran, ia tampak ganas.
Bisa jadi sikap ini ia dedikasikan ke pentas Gajahmada untuk meyakinkan dirinya, dari pola permainan itu akan muncul figur Gajahmada sesuai skenario yang ia tulis sendiri.
Dalam pemunculan karakter permainan, tampaknya Bambang tidak asal bermain. Dengan segala kekuatan estetiknya di panggung, penyerahan dirinya ke pada kekuatan akting, memperlihatkan dirinya sebagai pemain berbakat yang memiliki berbagai pengalaman pentas.
Dari ilustrasi sound efect yang mampu membangun karakter peran, membakar emosi Bambang, sehingga kualitas permainanya benar-benar menggetarkan jiwa penonton.
Aktor panggung ternama Indonesia, Willy Surendra atau WS Rendra, mengatakan amosi peran akan terbangun dengan sangat baik apabila ilustrasi sound efect atau sound of musical yang mengiringi memiliki spesifikasi yang ideal dengan karakter naskah permainan.
Kesadaran moral inilah yang dimiliki Bambang Oeban sebagai Gajahmada itu ia eksresikan ketika sound efect itu membakar suasana permainannya.
Dari monolog yang ia ungkap dengan takaran emosi permainannya, Bambang berusaha meyakinkan ke penonton bahwa itulah Gajahmada.
Meski secara sadar ia ungkap kata-kata itu melalui karakter dirinya yang “tersingkir” akibat ketokohan Gajahmada, namun perhatian penonton diajak untuk lebur ke dalam sikap cerita yang diungkapnya.
Seperti yang dikatakan Jean-Paul Satre, peran seperti ini dapat mengadjarkan penonton untuk tahu sikap apa jang diungkap tokoh cerita melalui si pemeran ( buku Membangun Watak dan Imajinasi Pelakon..(hal 195..terbitan Djambatan Djakarta 1951).
Karena itu ketika dalam dialognya Bambang Oeban mencoba menjelaskan tentang siapa Gajahmada dan bagaimana peran aktifnya sebagai tokoh sejarah.
Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana emosi permainan aktor panggung Indonesia ini. Sebab dari rincian awal saat naik ke pentas permainan, secara sadar dia sudah mengerti untuk menyajikan tiap etape permaiman yang baik.
…jangan kalian kira Gajahmada hanya tinggal nama. Aku tetap ada dan tiada dalam abad yang berbeda.
Dari dialog yang diungkapnya lewat ekspresi sangat kental itu, Bambang menjelaskan siapa dirinya yang terombang-ambing dalam sejarah.
Sebagai sosok yang menyintai Nusantara ini, Gajahmada tak hanya menjadi pembicaraan, tapi dia memang ada di hati setiap generasi muda kita.
Terlepas dari apakah Gajahmada itu memiliki watak keras dan tegas, itulah Gajahmada versi emosi permainan seorang pemain pentas yang berpengalaman seperti Bambang Oeban.
Dari tarikan garis wajahnya, teriakannya serta nada dan alunan monolog yang ia pentaskan itu pantas memperoleg apresiasi tinggi dari para penonton. (*)
Palembang
8 Juli 2019