Oleh Anto Narasoma
PADA sila kedua Pancasila berbunyi, ..Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tentu isinya berkaitan dengan nilai-nilai kemanusian yang memiliki kewelasasihan bagi kehidupan.
Karena itu manusia terlahir sebagai makhluk sosial paling memahami aspek kepentingan diri sendiri dan masalah sosial makhluk lain (hewan).
Karena itu akan terlihat ketika manusia melaksanakan satu karya, baik penciptaan kebudayaan (kegiatan tradisi), selalu berusaha menyampaikan pesan dalam satu sudut pandang.
Sebab sudut pandang atau tinjauan dari sisi pemahaman keilmuan terhadap satu masalah (karya), terkadang tidak sama. Misalnya seni tari masyatakat Sumatera Selatan bertajuk Tari Tanggai.
Tari ini diciptakan untuk menyambut tamu kehormatan yang diundang dalam satu pesta kebesaran atau disaat resepsi pernikahan.
Anehnya, meski musik yang mengiringi tarian itu sama dari satu kabupaten dengan kabupaten lainnya di Sumatera Selatan, namun ketika menyaksikan secara esensiak tentang tari itu, justru gerakan dari satu wilayah ke wilayah lainnya, terdapat perbedaan yang mendasar secara esensial.
Penari tradisional dari Palembang, Ana Kumari, mengatakan perbedaan itu merupakan kekayaan kreativitas pencipta tari.
“Namun ini tari tradisi yang fungsinya untuk menyambut tamu kehormatan, harusnya dari satu daerah dengan daerah lain harus sama. Sebab tari ini milik masyarakat Sumsel,” ujar Ana, beberapa waktu lalu.
Tari tradisi daerah adalah jati diri masyarakat setempat. Karena itu dari musik pengiring, busana yang dipakai saat menari, harus sama. Apalagi tarian etnik ini bukan tarian kreasi baru.
Terlepas dari corak kreatif pencipta tari, suatu keharusan untuk menyamakan gerakan dalam satu kepaduan nilai kedaerahan merupakan hal prinsip.
Hal serupa disepakati seniman Jawa, Sunda, Medan, Padang, Bali, Kalimantan, Papua serta tarian tradisi dari daerah lain, yang menyamakan tiap detil gerakan yang dilakukan penari.
Memang, tarian adalah karakter satu bangsa. Ketika orang melihat tarian Bali, orang akan membayangkan situasi setempat.
Karena itu ketika para pelancong Barat datang ke Bali, mereka menyaksikan ciri kuat tariannya yang eksotis dan secara estetika isi yang disampaikan tiba ke pada pokok pikiran penonton.
Demikian pula tari piring dari Padang. Dari gerakan yang dibawakan penari apa isi yang dimaksud dalam tarian itu dapat segera dipahami mereka yang menyaksikanya.
Demikian pula tarian Dayak dari Kalimantan serta sejumlah tarian masyarakat Aceh. Seperti dikemukakan penari terkenal Didik Nini Towok, tiap gerakan yang muncul dari diri sendiri itu merupakan wujud karakter (penciptanya).
Karena itu penari Rusia, Katrine Volski selalu lebur ke dalam estetika gerakan ketika ia menari.Karena dalam tiap gerakan yang diringi musik itu ada pesan-pesan moralitas bagi penonton.
Penari senior Sumatera Selatan, Elly Rudi, menarikan satu tarian harus lepas dari emosional pribadi. Karena emosi berlebihan di dalam diri penari, dapat menafikkan esensi gerakan yang tak dapat dijiwai.
Akibatnya segala gerakan yang dilakukan akan terkesan hambar, sehingga sebelum tarian selesai digelar, para penonton akan meninggalkan even tarian tersebut.
Intinya tiap penari harus sepakat untuk menyatukan persepsi terkait keseragaman gerak Tari Tanggai.
“Ada baiknya dibicarakan secara bersama untuk satu tujuan Tari Tanggai yang sama gerak sebagai kekuatan ciri daerah kita,” ujar Elly Rudi.
Sepanjang ego sentris masih kuat secara wilayah daerah, menyatukan gerakan tari tanggai memang tidak gampang.
Dari hal lagu daerah saja, orang Sumatera Selatan sulit mengakui bahwa lagu Sebambangan itu lagunya orang Komering. Karena dari bahasa dan karakter lagu memang tidak mencerminkan ke-Komering-an. Karena itu sulit bagi orang Komering mengakui bahwa lagu Sebambangan adalah lagu OKU Timur, OKU, OKI, Ogan Ilir.
Swdangkan corak lagu Jawa lain lagi. Meski berstruktur bahasa Tegal, pantai utara (Pantura), orang Jogja atau Solo tetap mengakui itu lagu Jawa.
Sedangkan bukti kuat tetang Tari Tanggai dari Sumatera Selatan, namun dari tiap daerah memiliki gerakan tak sama satu dengan lainnya. Inilah bentuk ego pemimpin sanggar tari yang tak memiliki hakikat kebersamaan untuk menciptakan gerakan satu Tari Tanggai sebagai karakter daerah Sumatera Selatan. Secara prinsip, hal ini perlu kita garisbawahi. (*)
Palembang, 30 Agustus 2023