WIDEAZONE.com, PALEMBANG | Pusaran gejolak ganti rugi pada lahan Kolam Retensi Simpang Bandara Palembang, dengan nilai fantastis Rp40 miliar, berdampak besar terhadap serapan anggaran. Apalagi BPKP Perwakilan Sumatera Selatan [Sumsel] menyatakan Total Loss dalam peristiwa tersebut.
Pengamat Sosial Politik, Dr Tarech Rasyid menilai sebelum terjadinya ganti rugi lahan Kolam Retensi, tentunya hal itu beranjak dari inisiasi Pemerintah Kota [Pemkot] melalui Dinas PUPR Palembang dengan rapat dengan sejumlah pihak [BPN, Notaris, KJPP [Kantor Jasa Penilai Publik], Konsultan FS [Feasibility Study], Datun Kejaksaan, Camat, Lurah hingga dinas ataupun instansi dan masyarakat [pemilik lahan].
“Rapat kala itu, pastinya mengambil kesimpulan berkaitan dengan [ganti rugi], berarti persoalan dipahami secara menyeluruh oleh pihak-pihak yang hadir,” ungkapnya dalam keterangan pers kepada WIDEAZONE.com, Ssnin 13 Oktober 2025.
Mengapa langkah-langkah itu diambil? Ujar Tarech, tentunya berangkat dari prinsip kehati-hatian PUPR dalam mengambil tindakan [soal ganti-rugi] dengan mengacu pada surat edaran Mahkamah Agung [SEMA] 4/2016. “Mereka [Pemkot/PUPR] pada persoalan itu, mememodani, intinya bagaimana mendorong atau menyelesaikannya dengan para pihak, maupun warga dalam hal ini sebagai pemilik lahan,” urainya.
Rektor Universitas IBA periode 2020-2024, mengatakan, merujuk pada Peraturan Menteri PUPR [Permen-PUPR] RI nomor 12/PRT/M/2014 tahun 2014 menyebut bahwa penyelenggaraan atau pelaksanaan sistem drainase perkotaan, pada hakikatnya Kolam Retensi merupakan upaya Pemkot dalam pelaksanaan dimana [kolam retensi] sebagai prasarana untuk serapan pengendalian banjir di Kota Palembang.
“Sebagai penampung limpahan air, terutama air hujan, sehingga dapat menanggulangi banjir, dan dinilai sangat mendesak untuk mengatasi persoalan [banjir] di Kota Palembang terutama di wilayah terdampak,” sebutnya.
“Berangkat dari Permen-PUPR, tentu sudah jelas, kegunaaan lahan yang telah disepakati tadi dibayar oleh Pemkot kepada pemilik lahan. Kala perjalanan [ganti rugi] tentunya lahan tersebut telah diperiksa tentunya oleh mereka [stakeholder terkait] kala gelaran rapat bersama,” jelas dia.
Selain itu, mereka yang hadir mengetahui nilai ganti rugi, baik luas objek sudah disepakati, menurutnya tidak ada persolan! Pengambilan kebijakan tersebut berlandaskan permasalahan yang mendapat persetujuan para pihak, karena mereka terlibat semua di dalamnya sampai ke tingkat bawah. “Jangan-jangan di tingkat RT atau pun Lurah hadir dan mengetahui. Artinya, pelaksanaan tersebut telah berjalan sesuai SEMA sebagai pedoman,” kilahnya.
Semua lembaga tahu kaitan persoalan, artinya apa? Di situ ada transparansi terhadap kebijakan yang dimabil pihak PUPR, juga terdapat akuntabilitasnya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
“Jadi, ada prinsip Good Governance dengan merujuk pada prinsip-prinsip demikian,” sebutnya.
Bila ada persepsi muncul, kata Tarech, di kemudian hari, terdapat dugaan “LIAR” lahan disebut tanah negara harus dibarengi dengan kajian lebih lanjut ! Tidak bisa kujuk-kujuk menduga seperti itu. “Dengan kata lain, harus mengkajinya lebih dalam lagi. Kenapa?
Karena, menurutnya, semua pihak sudah rapat dan mengetahui [pemilik, objek, stakeholder terkait termasuk BPN kala itu] hingga nilai ganti rugi yang disepakati, kemudian pembayaran.
“Timbulnya permasalahan soal penafsiran dari sejumlah pihak, adanya dugaan, orang mengklaim sebagai pemilik “MS”. Persoalan ganti rugi ini telah Clear, dan harus dikaji lebih jauh, karena sebelum pelaksanaan, tentu ada rapat awal,” tambahnya.
Selanjutnya …Kerugian, Tidak Tepat Sasaran
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya