Oleh : Anto Narasoma
WIDEAZONE.COM–SASTRA lama yang kurang diminati masyarakat saat ini adalah pantun. Padahal, kalau dulu, pantun merupakan produk budaya yang sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Sebagai bentuk kearifan budaya, pantun sering digunakan untuk menyampaikan perasaan seseorang, baik menyampaikan persoalan cinta, agama, marah, menyindir orang lain atau apa saja yang berkaitan dengan kepentingan seseorang. Namun seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi, secara perlahan, pantun mulai ‘ditinggalkan’ masyarakat kita.
Dalam diskusi kesastraan bertema ‘’Pantun Cermin Kehalusan Budi dan Keluasan Berpikir’’ Kamis (1/12/2016) lalu itu dibicarakan tentang bagaimana kondisi pantun di masyarakat kita saat ini. Dalam diskusi itu, Balai Bahasa Sumsel menghadirkan pembicara senior,Kms Anwar Beck yang dimoderatori Aminulatif sebagai penyelenggara acara.
Selama puluhan tahun, Anwar yang sering dipanggil masyarakat sastra Sumsel sebagai Yai Beck itu berjuang memasyarakatkan pantun. Di era tahun 1980-an, misalnya, Yai Beck memasyarakatkan pantun melaluia cara Gayung Bersambut di TVRI Palembang. Dalam acara itu, pantun diaklerasi sebagai materi utama ketika terjadi ‘dialog cinta’ selama acara berlangsung.
Dalam dialog antarremaja di TVRI tersebut, pantun menjadi ungkapan hati dan penyampaian perasaan peserta. Sayangnya, setelah acara Gayung Bersambut itu tuntas, dalam kehidupan sehari-hari peserta tidak pernah menggunakan pantun sebagai penakar kehalusan budinya.
Mengapa pantun yang menjadi milik masyarakat Indonesia (Melayu) dari sejak dulu itu justru kurang memasyarakat di kalangan generasi muda? Padahal sebagai kearifan budaya Indonesia, pantun seringkali digunakan warga Palembang untuk acara cacap-capan dan suap-suapan sebelum mempelai duduk di pelaminan dalam resepsi pernikahan itu.
Bahkan, di tahun 1950-an, pantun sangat popular di kalangan generasi muda kita. Ketika remaja sedang memadu cinta, pantun kerap digunakan untuk mengungkap perasaan mereka. Apa yang diucap oleh sepasang remaja ketika memadu kasih, dijelaskan melalui larik-larik pantun yang indah dan menarik.
Seperti layaknya puisi, syair-syair pantun cenderung menggunakan diksi (kata) yang berkaitan dengan alam, manusia dan kehidupan. Bahkan ketika mengungkap perasaan cintanya, secara utuh, syair yang diucapkan berkaitan dengan alam dan kehidupan. Misalnya seorang lelaki sedang mengagumi wajah kekasih yang dicintainya, diungkap dengan kata-kata indah sebagai berikut:
Burung elang mencari makan di kali
Mendapat ikan berekor lebar.
Wajah adinda cantik sekali
Membuat hati abang jadi bergetar.
Sang gadispun menjawab:
Elang berdiri di atas batu
Batunya berkarang berbentuk pedati.
Abang jangan berkata begitu
Membuat adik malu hati.
Jika diapresiasi, pilihan kata untuk pantun tersebut berkisar tentang kehidupan, alam lingkungan dan kemanusiaan. Padahal yang diungkap hanya corak kekaguman seorang pria terhadap kecantikan wanita yang dikaguminya. Namun sajian pantun yang ia ungkap justru menghadirkan kata-kata dengan fenomena beragam.
Diskusi kesastraan yang diikuti dosen, guru, pelajar, praktisi pantun, sastrawan danseniman itu berbicara mendalam tentang pantun dan segala masalah yang dihadapi saat ini. Para dosen dan guru menilai, kurang memasyarakatnya pantun akibat kurang gencarnya pengajaran tentang itu.
Padahal jika pantun diajarkan secara apresiatif tentang bagaimana menghadirkan kata-kata (diksi) indah sejak di sekolah dasar, sedikit banyaknya akan berakar di hati anak didik. Bahkan bia menjadi acuan murid untuk menggemarinya.
Peserta sepakat selain dikenalkan dan diajarkan di sekolah-sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi, di masa mendatang pantun akan menjadi pilihan menarik sebagai alat untuk menghaluskan sikap dan budi pekerti masyarakat kita.
Tak hanya itu, wartawan senior Republika, Maspril Aries, mengatakan pantun sangat efektif disosialisasikan melalui media sosial. ‘’Jika di setiap saat pantun bias menghiasi ruang media sosial WhatsApp (WA), instagram, facebook atau bentuk media social lainnya, pasti member dampak positif bagi perkembangan sastra lama (pantun) tersebut,’’ ujar Maspril.
Meski tidak sepenuhnya benar, sebagai sastra lama yang pernah eksis di masyarakat Indonesia, pantun memiliki bentuk seperti puisi. Dalam tiap alinea, pantun memiliki empat baris kalimat (kalau puisi jumlah barisnya bebas). Dalam tiap baris, selain menjelaskan tentang eksitensi alam, kehidupan dan kemanusian, pantun memiliki contens A-B dan A-B.
Misalnya, jika di ujung larik pertama terdapat kata kir, pada baris ketigapun terdapat kata kir. Sedangkan di larik dua dan empat tertulis kata dan. Coba kita perhatikan pantun ini,.. Paras jelita indah terukir/ Bergaun hijau senang berdandan/ Jika orang malas berpikir/ Alamat sengsara nasib di badan.
Jika diamati, dari tiap kalimat yang ditulis, akan menjelaskan tentang alam dan kehidupan. Contensnya bias menyertakan keadaan alam, kehidupan, manusia dan persoalan yang ada di seputar lingkungannya. Paling tidak, penjabaran tentang masalah yang diajukan dalam tulisan (pantun) akan memuat paradigma yang teramat kompleks sebagai karya sastra.
Penulis : Sastrawan, Wartawan dan Seniman Teater