APRESIASI seni pada nilai tradisi sastra merupakan tonggak yang sangat kokoh bagi ide, daya cipta dan gagasan seorang seniman. Itulah yang dilakukan Muhammad Amin SH dalam menulis tiga puisi yang dilombakan secara nasional.
Secara estetik isi tiga puisi yang bertajuk “Jangan Tantang Aku, Sayangi Aku, dan Corona Allah”, menjelaskan seputar kreativitas Amin yang cerdas dan sangat mendidik.
Dua seniman besar Jogjakarta, DN Koestolo dan Chamit Arang menilai, aspek isi dan nilai art (seni yang tertata) di tiga puisi itu, mampu memberikan wawasan ke-Tuhan-an dan aspek sosial kemasyarakatan.
“Seperti puisi Jangan Tantang Aku, format isinya sangat bernas. Jika dalam estetika lukisan, pada lapisan ide yang ditampilkan, menyeruak soal edukasi ke-Tuhan-an dan fungsi manusia di dalamnya,” ujar DN Koestolo, saat dimintai komentarnya, Rabu (25/8/2021).
Yang membuat kagum Koestolo dan Chamit Arang, pergelaran lomba baca puisi tingkat nasional itu diikuti 69 peserta dari seluruh daerah di Indonesia.
“Ini suatu keberhasilan yang pantas diapreaiasi. Sebab dalam keadaan paparan virus corona yang membahayakan kesehatan warga, kegiatan sastra justru booming. Wuih, logika ini tidak main-main,” ujar Kostolo, seniman senior di Jogyakarta itu, tersenyum.
Menurut dia, syair (puisi) dan tujuan kalimat, cukup menggetarkan nilai keimanan seseorang. Betapa tidak, disaat pemerintah mencanangkan “perang” pada covid-19, justru puisinya mengajarkan kearifan untuk merangkul dan mengasihi virus corona.
“Ini pengajaran yang cerdas dan memiliki kualitas persepsi yang tinggi. Aku salut. Sukses buat penyelenggara,” ujar Koestolo.
Sementara itu seniman besar Jogyakarta lainnya, Chamit Arang, mengatakan amazing. Sebab jika lomba itu dilakukan secara tatap muka, pesertanya paling sekitar 30-40 pembaca pembaca puisi.
“Ini sangat hebat. Puisi sesederhana itu mampu mengajak 69 peserta yang cenderung menguasai teknik bacaan secara nasional. Salut, Mas,” tegas Chamit.
Dalam puisi ada dua ruang yang dapat diisi. Ruang pertama diisi penulis puisinya (penyair) yang mencoba mengungkap tentang puisi secara imajinasi (imagery).
Namun, kata Chamit, sang penyair memiliki keutamaan untuk menyajikan nilai rasa (feel of poe). Namun imajinasi harus dituturkan dengan sesuatu yang konkret (the concrete word) di lapangan. “Dengan demikian dapat kita pahami bahwa tujuan puisi itu bisar mengena di masyarakat,’ katanya.
Meski demikian ada juga penyair yang seringkali menulis dengan tema dan tujuan yang tersamar. Akibatnya, pembaca harus mampu untuk mrmgungkap tema, isi, dan intensinya dengan kreativitas yang tinggi.
Pada ruang kedua, pembaca puisi harus mampu menafsirkan isi puisi yang dibacanya secara interpretatif. “Dengan demikian apa yang ia baca dan penyampaiannya sampai kepada audiens yang ada,” ujar Chamit.
Chamit juga bersyukur puisi Amin Tras yang menjelaskan persoalan covid-19 tak begitu membingungkan. “Makanya peserta lomba baca puisi itu cukup membludak. Apalagi ada hadiah finansialnya yang cukup menjanjikan. Salut Mas Amin,” kata Chamit menutup perbincangan. (*)
Laporan Anto Narasoma