MASUK ke dalam jiwa manusia tak segampang berkelana ke ruang-ruang luas di jagat kota. Karena jiwa manusia itu berliku-liku yang penuh misteri.
Membaca puisi bertajuk “Cermin” yang ditulis penyair Achmad Rapanie Igama, diksi-diksi yang ditampilkannya seperti ruang kaca bening yang luas dan memiliki sejuta ruang.
Harus diakui bahwa untuk masuk ke dalam jiwa manusia memang tidak mudah. Karena kita bisa terperangkap ke dalam arus emosinya yang sulit dipahami.
Namun ada alur yang perlu kita pahami, misalnya, ketika kita membaca puisi “Cermin”, Rapanie mencoba membentangkan layar putih agar kita menyediakan ruang untuk merenung dalam cermin kejiwaan seorang manusia.
Rapanie tampaknya menyadari bahwa manusia itu tak mampu melepaskan diri dari eksitensi lingkungannya. Karena sebagai makhluk hidup, sejarah hidupannya berawal dari segumpal tanah hitam untuk menciptakan sesosok tubuh Adam (bapak manusia).
Karena itu tidaklah heran apabila menuliskan tentang manusia, eksistensinya tak pernah terlepas dari keberadaan alam dan lingkungannya.
Itulah pada larik-larik di dalam puisi “Cermin”, penyair memaparkan jiwa manusia yang erat terkait alam (danau).
Pernahkah kau termenung/ Memandang birunya/ “Danau” airmatamu/ Yang meluas perlahan/ Dari buah “embun” kasih sayang/ Dalam lubuk terdalam hatimu…/Cobalah….
Dari lirik puitiknya, Rapanie secara konstan untuk mengajak pembaca masuk ke dalam ruang perenungan jiwa manusia yang teramat dalam.
Namun inovasinya dilebarkannya ke ruang alam yang begitu luas. Memandang birunya/ Danau air matamu/Yg meluas perlahan….
Memandang birunya (hakikat warna air: kehidupan) danau airmatamu. Mampukah kita melihat diri sendiri disaat kita menangis?
Sulit. Memang tidak gampang menjawab pertanyaan itu. Sebab antara tangis (berkaitan dengan psikologis), wajah dan bentuk fisik manusia tidak mungkin dapat dilihat secara keseluruhan.
Meski mata kita itu ada di kepala (bagian wajah), namun sulit bagi kita untuk melihat bagian belakang kepala kita. Karena keterbatasan yang kita miliki. Karena itu Rapanie mencoba menyadarkan kita untuk memahami keterbatasan di dalam diri ini.
Tak seorang manusia pun yang mampu membedah keterbatasan itu dengan ilmu pengetahuan apapun. Karena untuk memandang bagian belakang kepala kita hanya bisa dilakukan melalui bantuan cermin kaca yang diletakkan di belakang kita.
Itupun hanya memandang bentuk. Tapi kita pun tak mampu menatap bentuk kekurangan yang kita miliki. Katidakmampuan diri ini untuk melepaskan diri dari alam dan lingkungan sudah merupakan tradisi kehidupan manusia.
Karena itu dalam lirik-lirik lanjutan, penyair mencoba menjabarkan itu lewat kalimat…dari “embun” kasih sayang/ Dalam lubuk terdalam hatimu….dst.
Ini kalimat dalam bentuk yang komunikatif antara ucapan dan jiwa manusia secara psikologis. Seperti yang dikemukakan Prof Dr Haryati Subadio, …sudah jelas bahwa efektivitas komunikasi antara ucapan dan jiwa manusia itu dilandasi kematangan jiwanya untuk memahami konteks rasa (psikologi) dan perbuatan (sikap lahiriah). Karena itu ketika seseorang telah menguasai ilmu pengetahuan, maka ada konteks pertanyaan seperti itu (analisis kebudayaan tahun III Nomor 1 1992/1983 : terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Kajian ini tidaklah berlebihan. Karena dalam proses kematangan jiwa seseorang, pertanyaan psikistis seperti ini merupakan bentuk positif sebagai kajian ilmiah.
Ini corak puisi psychologisme-realisme. Bentuk kejiwaan yang mengalir dan mencurahkan pertanyaan hingga menyelusup ke ruang-ruang psikis dan fakta di sekelilingnya. Sebagai corak tinjauan rohani dari tempat dan waktu.
Puisi “Cermin” ini membentuk pola didaktik yang menjelaskan bentuk fisik (air mata), semata-mata untuk mendidik dan membina kedalam psikologi manusia dan alam (religiusitas).
Ada beberapa simbol secara konotatif untuk membentuk kajian tentang air mata, cerminan jiwa. Karena di dalam masyarakat adat, nilai psikologi manusia selalu merujuk ke nilai terdalam untuk memahami baik-buruknya kehidupan.
Karena itu nilai isi yang disajikan penyair dalam puisi “Cermin” ini menyajikan tema rasa yang begitu dalam (sense of feel).
Karena itu secara konkret (the concrete word), penyair mengajak kita untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan yang merunut ke jalur terdalam tentang air mata sedih, gembira dan sukacita dalam mengarungi kehidupan ini.
Ada catatan yang perlu disampaikan dalam resensi ini. Karena puisi itu tidak terlepas dari kata dan bahasa penulisan. Tulisan Yg..(meluas perlahan)…., harusnya diurai dengan konotasi sesuai rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ..Yang.
Entah, barangkali penyair ingin menciptakan efek psikologi dalam menyingkat kata Yang menjadi Yg (tertulis). Sebab dalam puisi ada rumusan figuratif language. Karena itu Rapanie menuliskan kata yang dengan huruf yg saja. (*)
Tirta Bening, 20 April 2020