TERBITNYA sebuah buku puisi tunggal berjudul “Hujan yang Hilang” karya Lely Mela Sari ini merupakan langkah awal adanya denyut nadi sastra atau perpuisian dalam tahun 2024.
Album puisi Hujan yang Hilang adalah buku puisi kedua lahir dari “kandungan” Lely Mela Sari. Sebelumnya, dia sudah menerbitkan buku puisi berjudul Evolusi Patah Hati pada tahun 2020.
Kehadiran antologi puisi tunggal Lely Mela Sari ini sekaligus ingin menjawab saat di tengah keminiman penerbitan buku puisi tunggal yang ditulis oleh perempuan di Palembang. Sungguh, sepengetahuan saya (mudah-mudahan tak keliru), setidaknya sepuluh tahun belakangan ini penerbitan buku puisi tunggal/mandiri oleh kaum perempuan di Palembang terbilang dengan hitungan jari.
Tahun 2018 misalnya, hanya satu terbit buku puisi tunggal “Perempuan Selalu Ingat” karya Dian Rennuati”. Selebihnya beberapa perempuan penulis puisi tercatat menulis puisi pada antologi puisi bersama.
Buku puisi Hujan yang Hilang ini setidaknya dapat menambah khasanah dari keminiman itu. Buku puisi Hujan yang Hilang ini menghimpun 37 judul puisi bertitimangsa 2022 sebanyak 29 puisi, dan bertitimangsa 2023 sebanyak 8 puisi. Dengan kata lain, puisi yang ditulis Lely Mela Sari ini memakan waktu satu tahun proses kreatif.
Membaca 37 puisi karya Lely Mela Sari dalam Hujan yang Hilang ini kita akan dihadapkan adanya tema-tema yang keseharian dalam kehidupan manusia. Puisi-pusi Lely menyentuh terahadap persoalan cinta, harapan, kemarahan, kesedihan, kehilangan, dan kecemasan terasa mendominasi yang kemudian diolah begitu sublim dengan diksi yang tenang. Tentu puisi-puisi yang ditulis jauh dari kesan curhat belaka.
Mencermati 37 puisi yang ditulis Lely Mela Sari ini terangkum dalam satu kesatuan, baik gagasan, suasana, serta pesan yang ingin disampaikan dalam judul buku Hujan yang Hilang sebagai manifestasi penulis yang secara eksplisit menunjukkan hilangnya hujan.
Hujan dapat boleh jadi dipahami secara literal sebagai gelagat alam, atau secara simbolis sebagai sesuatu yang membawa kesejukan, kehidupan, dan keberkahan. Di sinilah letaknya bahasa puisi sebagai bahasa konotatif.
Sedangkan kehilangan itu sendiri bisa saja terjadi di dalam diri kita atau di luar diri kita. Tentu, bagaimana kita merasakan suasana itu sebuah kekosongan atau sesuatu yang tak dapat diraih, yang pada gilirannya melahirkan kesedihan demi kesedihan.
Itu sebabnya, sang penulis mencantumkan judul bukunya sebagai sari pati dari puisi-puisinya. Jangan harap di dalam buku puisi Lely Mela Sari ini akan berjumpa judul puisi yang serupa dengan judul bukunya. Di banyak judul buku puisi lain yang terbit biasanya akan dijumpai judul buku puisi diambil dari salah satu judul puisi yang dianggap kuat, bahkan punya nilai jual.
Dalam buku puisi Hujan yang Hilang Lely Mela Sari ini, dia mengawali dengan puisi berjudul “Kromatika Cinta” yang menghadirkan suasana yang sangat kontras serta perpaduan warna-warni. Di satu sisi, puisi itu menggambarkan kehidupan yang keras dan penuh kekurangan, sebagaimana terkandung dalam larik-larik berikut:
Nyala di sudut mata bocah
Anak matahari yang dibesarkan di lorong-lorong yang
menanak sampah dan bau menjadi isi belanga
Bibir yang mencium mimpi
Berjalan tanpa alas kaki
Di sisi lain, puisi ini juga melukiskan keindahan dan keagungan cinta, sebagaimana yang tertulis dalam larik-larik berikut:
Kuil bersejarah yang memeluk bukit
Patung Athena yang kilaunya seperti matamu yang menatap
dari tempat paling sunyi di dunia
Suatu hari tangan kita akan diikat dengan gelang sahaja
Hati kita akan lugas mengucap cinta
Parnitha di Utara dan Hymettus di sebelah Timur akan
mengelilingi simbol Dewi
Sejarah tua di catatan musim
Perpaduan kontras itu menghasilkan suasana yang dinamis dan penuh gairah. Puisi Lely ini menunjukkan bahwa cinta dapat tumbuh dan berkembang bahkan di tengah situasi yang sulit. Selain bahwa cinta adalah kekuatan yang dapat mengubah dunia menjadi lebih baik. Meskipun cinta itu berkahir dengan tragis antara Paramitha dan Hymetttus. Namun, Lely Mela Sari lebih jauh ingin mengatakan bahwa keduanya merupakan kisah tentang keindahan alam dan kekuatan cinta.
Di bagian lain puisi Lely Mela Sari ini berupaya memecah kebuntuan dalam menghadapi kehidupan yang bernada pesimis yang dia lukiskan dalam puisi Kuldesak “Aku tak bisa membaca radarmu/Mengarahkan kapalku/Angin tenggara tak bisa mengantarkanku ke tujuan/Kau pun tak bisa melihat celah perak di langitku.
Terasa sekali aku lirik menyatakan bagian dari sebuah pelayaran yang terhambat. Kata kapal, radar (kompas) dan angin tenggara tak bisa mengantar aku lirik ketujuan sudah cukup memproyeksikan sebuah metafora pelayaran.. Puisi Kuldesak ini menggambarkan perasaan terjebak dalam situasi yang tidak ada jalan keluarnya. Hal itu dilukiskan dengan “kakiku hampir melemah”.
Meskipun dalam situasi sulit, puisi ini juga menunjukkan pentingnya ketabahan. Hal ini dilambangkan dengan “kisah pohon yang tabah” yang “tumbuh melalui celah dinding kokoh”.
Dari beberapa tema yang mengharukan dan menyedihkan itu, Lely Mela Sari mengakhiri bukunya dengan puisi “Hilang” yang tak kalah mengharukan. Setiap manusia tidak mau ada sesuatu yang hilang, baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Sesuatu yang hilang akan terasa menyakitkan. Puisi Hilang punya pesan tersendiri.
“Bukankah, puisi harus berkomunikasi secara tidak langsung dengan pembaca, karena puisi bukan percakapan sehari-hari, melainkan percakapan batin.” Demikian kata sastrawan Abdul Hadi WM dalam sebuah pertemuan puisi beberapa tahun lalu.
Untuk itu, puisi “Hilang” menghadirkan suasana yang penuh dengan ketakutan, kecemasan, kesedihan dan penderitaan disebabkan oleh perang sebagaimana dilukiskan oleh Lely Mela Sari. Suasana itu digambarkan melalui metafora seperti “air mata yang tak cukup memberi kehangatan”, dengarkan makna lain dapat diartikan bahwa rasa simpati dan empati tidak cukup untuk membantu mereka yang terkena dampak perang.bahkan dari “tangan yang tak cukup menjangkau” adalah rasa frustrasi karena tidak dapat membantu mereka yang menderita.
Sementara “Harum doa yang tak cukup membasuh aroma darah” menunjukkan bahwa doa tidak cukup untuk menghentikan tragedi perang. Meski “Anak-anak kecil yang tak gentar menyongsong peluru” tak lain menunjukkan keberanian dan tekad mereka yang berjuang untuk tanah air mereka.
Pada puisi “Hilang” yang menggambarkan suasana perang di suatu negeri/negara, dalam hal ini Lely Mala Sari tidak secara khusus menyebutkan negeri itu Palestina misalnya. Namun, puisi itu hanya menyebutkan “tanah suci para nabi” yang juga bisa mengacu kepada Palestina yang merupakan tanah suci ketiga setelah Mekkah dan Madinah.
Apalagi puisi ini ditulis tahun 2023 yang ada relasi dengan perang Israel dengan Hamas di Palestina, dan itu sangat kontekstual.
Puisi “Hilang” sebagai penutup buku ini merupakan puisi yang cukup baik karena terletak pada penggunaan metafora yang kuat dan gambaran yang jelas. Puisi ini mampu membangkitkan emosi pembaca dan membuat mereka merasakan penderitaan mereka yang terkena dampak perang. Puisi ini juga merupakan seruan yang kuat untuk perdamaian. Akhir kalam, selamat kepada Lely Mela Sari.
Palembang, Maret 2024