SAAT memantapkan diri menjadi sosok penjaga kemurnian pemilihan umum [Pemilu], secara politis jiwa kita harus bersih dari segala aspek keberpihakan.
Sebab, meski berhadapan dengan sejumlah sahabat dari partai manapun, yang perlu kita jaga adalah emosi liar yang ada di dalam diri kita sendiri.
Emosi liar inilah kerap kali “datang” untuk menawarkan berbagai persoalan yang menyimpang dari kejujuran, agar diri ini bisa terperosok menjadi “pelacur politik” untuk memenangkan pihak tertentu dalam meraih jumlah suara.
Mampukah kita bertahan dalam kondisi yang sangat menggiurkan seperti itu? Terutama berhadapan dengan setumpuk uang yang bisa menggelincirkan ke dalam persoalan paling menjatuhkan harga diri petugas pemantau pemilu.
Karena itu, sebelum kita dipercaya mengawal kejujuran terhadap tugas yang diemban, yang pertama harus bisa melawan musuh di dalam diri sendiri.
Musuh paling berat yang kita hadapi itu adalah diri sendiri. Sebab tak sedikit orang-orang yang dipercaya untuk mengawal hasil pemilu, akhirnya terjerembab ke dalam kriminalisasi politik.
Karena itu kita perlu mempertanyakan ke diri sendiri, terkait kejujuran yang kita miliki ini. Sebab baik atau tidaknya hasil pemilu itu tergantung dari kejujuran diri kita sendiri.
Apalagi dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum [PKPU] Nomor 7 tahun 2017, petugas pengawas pemilu harus benar-benar bersih untuk mengawal ketentuan yang berlaku, sesuai peraturan PKPU 7/2017 tersebut.
Sebab yang bakal kita kawal dalam proses pemilu itu ialah kejernihan suasana pemilu dalam memilih anggota DPR, DPRD, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pemilihan umum itu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yang dilaksanakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI].
Di sinilah nilai kejujuran diri kita itu dipertaruhkan. Sebab “serangan politis” berupa nilai uang akan menjorok ke pertahanan diri sebagai petugas yang jujur.